Meski legal, penggunaan sistem operasi open source di Indonesia belum populer.
Padahal, pemakaian open source menghemat 50- 62 persen belanja pembelian peralatan teknologi informasi pada lembaga ataupun individu.
Direktur
Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika
Ashwin Sasongko menyatakan, pemerintah mendorong penggunaan sistem
operasi legal apa pun bentuknya. ”Penggunaan sistem operasi bajakan
merupakan pelanggaran pidana,” katanya dalam diskusi ”Linux Ubuntu:
Ujung Tombak Sistem Operasi Komputer”, Sabtu 12-05-2012, di Jakarta.
Sistem
operasi berlisensi mahal bahkan bisa lebih mahal daripada harga hardware nya. Solusi alternatifnya, menggunakan sistem operasi open source, misalnya Linux Ubuntu.
Sejak tahun 2004,
pemerintah mencanangkan penggunaan open source di Indonesia. Hingga
kini, penggunaannya masih sangat kurang. Proses penyesuaian memerlukan
waktu.
”Kondisi dan kesiapan tiap daerah berbeda. Tidak mungkin
membuat seluruh kantor pemerintah di pusat ataupun kabupaten/kota
menggunakan open source serentak,” katanya.
Ashwin mengakui
tidak mungkin menggunakan open source secara penuh. Ada beberapa
peranti lunak yang hanya bisa dijalankan menggunakan sistem operasi
tertentu.
Kepala Subdirektorat Industri Konten Multimedia
Kementerian Kominfo MH Munzaer menambahkan, sifatnya yang gratis
membuat penggunaan open source cukup luas. Sistem operasi ini
digunakan di 70 persen negara di dunia. ”Negara berkembang cocok pakai open source,” katanya.
Karakteristik open source yang bisa diunduh ataupun digandakan secara bebas
mendorong pengembangan industri kreatif dari produksi berbagai peranti
lunak, animasi, ataupun permainan berbasis sumber terbuka.
Hasil
penghematan dana dari pemanfaatan sumber terbuka dapat digunakan untuk
kepentingan lain yang lebih besar, seperti meningkatkan kualitas peranti
keras dan lebar pita internet.
Kelemahannya, belum
semua peranti keras sesuai dengan open source, seperti mesin pemindai
(scanner) dan mesin pencetak (printer).
0 komentar:
Posting Komentar